berapa
seringkah anda meminum jamu? Seberapa sukakah anda terhadap jamu?
Bagi bangsa kita sudah tidak asing lagi dengan
minuman herbal yang familer sekali dengan sebutan jamu gendong, disebut
demikian karena cara menjajakannya dengan cara digendong. Selain menjadi ciri
khas bangsa kita yang kaya akan tumbuhan herbal merupakan juga pengembangan
dari cara pengobatan dari leluhur kita. Pengobatan secara
tradisional sudah dikenal oleh masyarakat sejak jaman dahulu yang diturunkan
dari generasi ke generasi. Mereka menggunakan obat tradisional, termasuk jamu
gendong untuk menjaga kesehatan (Pratiwi, 2005). Menurut Pratiwi pula, dalam
proses pengolahan jamu gendong masih menggunakan tekhnik yang sederhana dan
sangat tradisional, yaitu pertama dengan merebus semua bahan,
kedua dengan memeras sari yang ada kemudian mencampurnya dengan air matang.
Menurut Suriawiria (2003) keterlibatan manusia dalam pengolahan suatu produk
industri akan membawa dampak yang tidak diinginkan misalnya timbulnya mikroba seperti
bakteri, jamur, dan mikroorganisme lainnya. Lebih
lanjut Suriawiria menjelaskan bahwa
suatu mikroba yang hinggap pada suatu produk pangan akan merubah warna, bau
maupun rasanya. Tidak terkecuali jamu, produk ini apabila telah terkontaminasi
oleh mikroba akan memperlihatkan bercak-bercak pada permukaan serta akan
mengeluarkan lendir. Keadaan yang demikian ini merupakan hasil dari dekomposisi
mikroba dengan bahan yang dibuat untuk minuman jamu.
Suatu mikroba akan mudah tumbuh di dalam
substrat mengandung nutrisi yang cukup untuk menunjang pertumbuhannya. Dalam
pembuatan jamu, air adalah bahan utama yang merupakan salah satu substrat
terpenting dalam kehidupan mikroba. Meskipun kita mengetahui bahwa jamu gendong
merupakan minuman yang sangat baik untuk kesehatan namun tidak menutup
kemungkinan sedikitpun bahwa bisa saja terjadi kontaminasi oleh mikroba
kedalamnya. Populasi mikroba dalam bahan pangan sangat bermacam jenisnya. Hal
ini disebabkan karena adanya pengaruh selektif terhadap jumlah dan jenis
mikroorganisme awal yang terdapat dalam suatu bahan pangan. Sumber-sumber
mikroflora yang terdapat dalam bahan pangan berasal dari tanah, air permukaan,
kotoran manusia atau hewan, debu lingkungan, udara dan lainnya (Supardi dan
Sukamto, 1999).
Penjualan jamu yang seringkali dijual bebas
dipasaran akan memudahkan mikroba dalam mengkontaminasi produk jamu. Oleh sebab
itu kewaspadaan terhadap produk jamu perlu dijaga. Sebagaimana sabda Nabi
Muhammad SAW sebagai berikut : " Tutuplah wadahmu (tempat makananmu),
dan tempatkan pada tempat yang aman, maka sesungguhnya di dalam suatu malam
Allah akan menurunkan wabah (penyakit), wabah tersebut bukan tidak mungkin akan
hinggap pada wadah yang tidak tertutup, dan tidak ada tempat yang aman pada
makanan itu melainkan perlindungan dari yang memberikan wabah (Penyakit)".
(H.R. Ahmad dan Muslim). Apalagi dalam pembuatan jamu yang masih sangat tradisional
dan resep pembuatannya merupakan hasil turun menurun dari leluhur yang dosis
kandungannya belum dengan jelas diketahui. Dan berdasarkan Woro Puji Hastuti, yang
melakukan penelitian di beberapa penjual jamu gendong yang pembuatannya masih
sangat tradisional di daerah semarang. Pengetahuan para penjual jamu akan
kebersihan diri dalam mencuci tangan sekitar 78% dan yang tidak 22%, mengikuti
penyuluhan jamu gendong 20% dan yang tidak 80%, penyakit menular pada air 46%
dan yang tidak 54%.
Saya sendiri pun termasuk orang yang masih
mengonsumsi jamu yang dijual dengan cara digendong itu. Awalnya memang akan
tidak benar-benar terpikirkan akan adanya bakteri atau mikroba lainnya karena
semua orang pasti akan mengira mana mungkin minuman yang menyehatkan bisa
mengandung mikroba?. Apalagi jika jamu tersebut dijajakan di tempat-tempat yang
tidak bersih, terpikirkah bagaimana proses pembuataanya?. Dan akhirnya yang
saya ketahui adalah mikroba akan selalu bisa tumbuh dan hidup dimana saja, dan
tidak menutup kemungkinan akan adanya mikroba pada jamu jika pembuataanya tidak
higenis dan benar-benar bersih. Bahan baku pembuatan jamu pun bisa jadi asal
dari tumbuhnya mikroba tersebut. Lalu bagaimana dengan jamu yang sudah
terkontaminasi mikroba?
Jamu yang tidak layak konsumsi tidak
seharusnya di jajakan kepada masyarakat, Produk jamu sangat
mudah terkontaminasi mikroba karena proses yang kurang higienis. Standar
Nasional Indonesia (SNI) 19-2897-1992 yang telah ditetapkan oleh pemerintah
menyatakan bahwa kandungan mikroba pada produk pangan jadi, untuk jenis bakteri
<106, dan untuk jenis kapang/khamir <104 (Pratiwi,
2005.).
Proses pembuatan jamu gendong tidak memiliki
perbedaan antara penjual yang satu dengan yang lainnya. Resep jamu sendiri
merupakan turun temurun, mungkin perbedaan hanya terdapat pada cara penakaran karena
pada pembuatan jamu tidak ada standart yang mengharuskan dosis tertentu.
Perbedaan dalam penakaran bahan ini nantinya akan menimbulkan kasiat yang
berbeda-beda dan mempengaruhi hasil pengolahan jamu.
Menurut Suharmiati dan Handayani (1998)
penggunaan bahan baku jamu didasarkan pada khasiat yang dikenal seperti: kudu
laos menggunakan buah kudu yang mempunyai khasiat sebagai penurun tekanan darah
tinggi, beras kencur memberikan tambahan vitamin B dan kencur yang bermanfaat
sebagai analgesik. Bahan-bahan yang digunakan berkhasiat antara lain untuk
memperbaiki pencernaan makanan sehingga meningkatkan nafsu makan (temulawak,
kunyit) serta menghilangkan nyeri dan pegal (jahe, kencur, puyang). Sedangkan
daun-daunan yang digunakan seperti katuk, bermanfaat untuk meningkatkan air
susu ibu. Manfaat dari tanamanobat tersebut memang dibutuhkan oleh ibu yang
menyusui, yang biasanya dalam keadaan cukup letih dan lelah karena harus
mengasuh bayinya. Namun, beberapa penjual memberikan tambahan bahan jamu yang
khasiatnya tidak sesuai dengan nama jamu, misalnya menambahkan adas, buah kudu,
pulosari dalam jamu cabe puyang, kencur dalam jamu kunci suruh, dan lain-lain.
Pengolahan jamu secara umum dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama dengan
merebus seluruh bahan dan kedua dengan cara mengambil atau memeras sari yang
terkandung jamu, kemudian dituangkan ke dalam air matang. Cara-cara tersebut
dilakukan mengikuti cara yang dilakukan pendahulunya yang dilakukan secara
sederhana dan tradisional.
Perbedaan yang ada kemungkinan hanya pada
peralatan yang digunakan. Misalnya, dahulu lebih banyak menggunakan pipisan
batu sekarang lebih disukai dengan ditumbuk bahkan ada yang menggunakan alat
listrik (blender). Alat untuk merebus dahulu banyak menggunakan 'kendi'
yang terbuat dari tanah liat kini berganti dengan panci. Sebagai pemanis rasa
jamu, pada umumnya digunakan gula merah atau gula pasir, tetapi ada pula yang
menambahkan gula obat (Saccharin). Tindakan tersebut dilakukan
kemungkinan untuk menekan harga mengingat cukup mahalnya harga gula sedangkan
untuk menaikkan harga jual jamu akan mempengaruhi kemampuan beli konsumen atau
adanya keinginan dari pembuat jamu gendong agar mendapatkan keuntungan yang
lebih besar (Suharmiati dan Handayani, 1998).
Biasanya pula penambahan beberapa bahan
tersebut untuk membuat variasi rasa, warna dan khasiat untuk daya jual kepada
masyarakat atau permintaan masyarakat yang biasa mengonsumsi. Saya sendiri,
biasanya hanya meminum jamu beras kencur atau kunyit asam.
Jamu beras kencur memiliki khasiat dalam
menghilangkan pegal-pegal dan dan linu akibat terlalu banyak melakukan
aktivitas yang melelahkan. Komposisi utama pada jamu beras kencur ini tentunya
hanya beras dan kencur. Namun beberapa pedagang terkadang memasukan bahan
tambahan lainnya seperti biji kedawung, rimpang jahe, biji kapulogo, buah asam,
kunci, kayu keningar, kunir, jeruk nipis, dan buah pala. Sebagai pemanis
digunakan gula merah dicampur gula putih dan seringkali mereka juga
mencampurkan gula buatan.
Jamu kunyit asam Jamu Kunir asam merupakan
jamu untuk menyegarkan tubuh atau dapat membuat suhu tubuh normal. Ada pula
yang mengatakan bermanfaat untuk menghindarkan dari sariawan, serta membuat
perut menjadi dingin. Seorang penjual jamu mengatakan bahwa jamu jenis ini baik
dikonsumsi oleh ibu yang sedang hamil muda dan dapat menyuburkan kandungan. Ada
pula penjual jamu yang menganjurkan minum jamu kunir asam untuk melancarkan
haid. Komposisi utama buah asam ditambah kunir/kunyit, terkadang dicampur
dengan sinom (daun asam muda), temulawak, biji kedawung, dan air perasan buah
jeruk nipis. Sebagai pemanis digunakan gula merah dicampur gula putih dan
seringkali
mereka juga mencampurkan gula buatan, serta dibubuhkan sedikit garam.
Menurut M. Basyarudin (2009) pada hasil
penelitiannya terhadap 3 penjual jamu gendong berupa jamu beras kencur dan jamu
kunyit asem yang dijual di pinggir jalan gajayana, malang. Pada penjual jamu A,
jamu kunyit asem terdapat bakteri Bacillus pumilus merupakan suatu
bakteri yang mempunyai koloni kecil (bintik-bintik). Pada suatu media tanam
bakteri ini akan membentuk rantai, yang berhubungan antara satu dengan yang
lainnya. Sumber kontaminasi bakteri ini berasal dari mulut dan udara yang tidak
dapat kita hindari dalam kehidupan sehari-hari. Bacillus pumilus merupakan
salah satu bakteri yang menghasilkan endospora, bergerak dengan flagel,
resisten terhadap antibiotik (Jawetz, dkk. 2001). Lebih lanjut Jawetz (2001)
mengatakan bakteri Bacillus pumilus merupakan agen penyebaran
penyakit yang menimbulkan penderitanya batuk. Dan pada jamu beras kencurnya
terdapat bakteri Bacillus megaterium.
Pada penjual jamu B, pada beras
kencur dan kunyit asem nya di identifikasi terdapat bakteri yang mendominasi
adalah kelompok Bacillus licheniformis dan Bacillus megaterium.
Kedua bakteri ini mudah ditemukan dimana-mana, bakteri ini akan masuk kedalam
saluran pencernaan manusia, akan tetap hidup pada gastrointestinal. Pembentukan
spora oleh kedua bakteri ini akan menimbulkan dampak yang tidak diinginkan pada
saluran pencernaan. Organisme ini lebih menyukai habitat di kulit yang kemudian
akan masuk dalam tubuh manusia. Kontaminasi oleh mikroorganisme ini melalui
tanah atau sumber kontaminasi lingkungan yang lain. Dalam industri bakteri Bacillus
licheniformis digunakan sebagai penghasil enzim protease, amilase, serta
antibiotik. Membentuk endospora, bergerak dengan menggunakan flagel, aerob
resisten terhadap kondisi lingkungan sekitar.
Pada penjual jamu C, pada jamu beras
kencur dan kunyit asem nya memiliki bakteri yang sama pada penjual jamu B,
namun pada jamu beras kencur nya terdapat bakteri yang berbeda yaitu Bacillus
subtilis bakteri yang hadir dalam makanan akibat dari kontaminasi karena
kurang higinis dalam pemrosesan. Bakteri B. Subtilis memproduksi enzim
proteolitik (subtilisin), spora bakteri B. subtilis akan berkembang pada
kondisi yang ekstrim ketika pemanasan waktu memasak dan akan menyebabkan
serabut dan lengket, bakteri akan menghasilkan rantai panjang polisakarida
(Anonymousf, 2008). B. subtilis mempunyai bentuk asimetri, memproduksi
endospora yang resisten terhadap perubahan suhu panas, asam dan garam yang
berlangsung cukup lama. Endospora berasal dari nutrisi yang dibutuhkan untuk
kelangsungan hidupnya. Spora yang dihasilkan oleh bakteri ini akan membentuk
flagel yang akan digunakan dalam pergerakan.
Bakteri Bacillus merupakan
bakteri yang membentuk endospora, flagel peritrika atau tanpa flagel, reaksi
pewarnaan gram positif, negatif dan variabel. Kelompok bakteri bacillus
biasanya parasit pada insekta (Irianto, 2006). Bakteri Bacillus merupakan
bakteri gram positif, membentuk spora, aerob atau fakltatif anaerob, kebanyakan
golongan bacillus saprofitik, spora dibentuk dalam satu sel, resisten terhadap
suhu panas, dingin, radiasi sinar, kering dan antibiotik.
Selain ditemukannya bakteri,
ditemukan pula jamur atau kapang pada seluruh jamu dari para penjual tersebut.
Jamur yang mendominasi adalah Monosporium sp. Dan Aspergillus niger. Jamur
ini menunjukkan ciri yang khas pada pertumbuhannya, pada Monosporium koloni
tampak putih, pertumbuhan yang relatif singkat, pada penelitian
diketahui jamur ini awalnya mempunyai koloni bintik putih, semakin tua
akan berubah menjadi kehijauan, sedangkan jamur Aspergillus mempunyai
ciri koloni berupa bintik hitam, koloni semakin tua akan menyebar pada
medium pembiakan.
Dari hasil penelitan tersebut, bisa
dilihat pertumbuhan mikroba lebih banyak terdapat pada beras kencur daripada
kunyit asem, ini dikarenakan kunyit mengandung senyawa metabolit sekunder atau zat
antimikroba. Namun tetap saja apabla proses pembuataanya tidak higienis dan
tidak memperhatikan kebersihan bahan baku yang digunakan dalam proses pembuatan
jamu, mikroba akan tetap tumbuh dan hidup dengan baik karena kandungan dalam
kunyit asam mengandung Lemak
sebanyak 1 -3%, Karbohidrat sebanyak 3%, Protein 30%, Pati 8%, Vitamin C
45-55%, dan garam-garam mineral, yaitu zat besi, fosfor, dan k. Yang cukup
untuk nutrisi pertumbuhan mikroba. Griffin (1981) menyatakan bahwa kurkumin
adalah senyawa antifungi yang terkandung di dalam ekstrak kunyit yang merupakan
bagian dari komponen minyak atsiri kunyit yang mengandung senyawa metabolit
sekunder yang termasuk ke dalam golongan seskuiterpen.
Dan pada beras kencur, mengandung nutrisi yang sangat cukup untuk pertumbuhan
mikroba Menurut Fardiaz (1992) beras mengandung karhohidrat dan glukosa
yang merupakan tempat cendawan untuk memperoleh energi.
Pada penelitian di atas dapat
disimpulkan bahwa mikroba yang terdapat pada jamu berasal dari lingkungan yang
tidak steril dan juga bahan baku pembuatan yang tidak dijaga kebersihannya.
Bahkan menurut penelitian oleh Verawati (2012) dalam jurnal kesehatan masyarakatnya, jamu
kunyit asem pun bisa mengandung bakteri Escherichia
coli. Bakteri tersebut dapat menimbulkan gangguan pencernaan.
diduga Bakteri Escherichia coli ini berasal dari Rimpang pada kunyit
yang saat pengolahan tidak dicuci bersih atau bahkan tidak dikupas terlebih
dahulu. Kondisi ini akan semakin berbahaya jika kunyit dipupuk dengan pupuk
kandang, pencucian dan pengupasan yang tidak benar akan menyebabkan bakteri
tetap menempel pada rimpang tersebut. Penyimpanan bahan baku yang kurang tepat
terkontaminasin hama seperti kecoak, serangga, tikus dll.Faktor pemilihan,
pencucian, pengupasan dan penyimpanan bahan baku yang kurang tepat tersebut
kemungkinan besar berpengaruh terhadap sanitasi dan higienes bahan baku yang
akhirnya akan mempengaruhi kualitas mikrobiologi pada jamu kunyit asem. Diketahui
Bakteri Escherichia coli meupakan bakteri yang heterotrof, menyerap nutrisi
zat organik dari lingkungannya dan jamu kunyit asem memiliki kandungan nutrisi
yang cukup untuk pertumbuhannya. Bakteri Escherichia pun sebenarnya
tidak akan menjadi berbahaya bagi tubuh apabila jumlahnya tidak terlalu banyak
dalam tubuh manusia. Karena pada dasarnya bakteri ini membantu pembusukan
makanan, namun bila jumlah dalam usus banyak atau sampai menyebar keluar usus
akan berakibat fatal.
Jadi, mulai sekarang kita
harus selalu berwaspada dalam mengonsumsi jamu. Dan sangat harus diperhatikan dalam
prsoes pengolahannya yang masih sangat tradisional. Karena minuman yang
menyehatkan pun bisa jadi tumbuh mikroba yang tidak menguntungkan atau
merugikan.
Daftar
Pustaka
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Penerbit PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Griffin, H.D. (1981). Fungal Physiology. New York. John Wiley
& Sons, Inc. Irianto,
K. 2006. Mikrobiologi Menguak Dunia Mikroorganisme. Jilid I. Jakarta
:Krama Widya.
Jawets,
dkk. 2001. Mikrobiologi Kedokteran (Medical Microbiology). Jakarta:EGC
Pelczar,
M. C, Jr dan E.C.S. Chan. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: UI press.
Pratiwi, S. T. 2005. Pengujian Cemaran Bakteri dan
Cemaran Kapang/Khamir Pada Produk Jamu Gendong di Daerah Istimewa Yogyakarta.
PHARMACON, Vol. 6, No. 1, Juni 10–15.
Sampurno,
2005. Pedoman Cara Pembuatan Obat Yang Baik. Jakarta: Badan Pengawas
Obat dan Makanan Indonesia.
Suriawiria,
U, 2003. Mikrobiologi Air dan Dasar-Dasar Pengolahan Secara Biologis.
Bandung: ITB.
Suharmiati dan Handayani, L., 1998. Bahan Baku, Khasiat dan
Cara Pengolahan jamu Gendong: Studi Kasus di Kotamadya Surabaya, Pusat Penelitian
dan Pengembangan Pelayanan kesehatan, Departemen Kesehatan RI, http://www.tempo.co.id/medika/arsip/052001/art-1.htm diakses pada tanggal 23/05/2015 pukul 13.34
WIB
Waluyo
L. 2004. Mikrobiologi Umum. Malang: UMM Press